Pengarusutamaan Hak Anak di Sekolah untuk Mencegah Kekerasan. oleh: Ariefa Efianingrum. Abstrak - PDF Free Download (2025)

Pengarusutamaan Hak Anak di Sekolah untuk Mencegah Kekerasan oleh: Ariefa Efianingrum Abstrak Kekerasan di sekolah dan institusi pendidikan lain menunjukkan sisi buram pendidikan. Kekerasan merupakan perbuatan yang tidak bisa ditolerir, karena selain mencabik-cabik toleransi dalam sistem sosial, juga mengganggu kenyamanan orang lain. Walaupun Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) dan bahkan memiliki Undang-undang Perlindungan Anak (UUPA), belum menjamin bahwa hak-hak anak sudah dipenuhi dengan baik. Pemerintah perlu mensosialisasikan UUPA di sekolah untuk meningkatkan sensitivitas guru terhadap perilaku bertendensi kekerasan. Sekolah juga perlu mempromosikan hak-hak anak di sekolah dengan memberikan layanan yang terbaik bagi siswa di sekolah. Kepala sekolah, guru, dan karyawan di sekolah dapat secara bersama-sama bersinergi untuk tujuan tersebut. Jika warga sekolah memiliki persepsi negatif terhadap kekerasan, tentunya akan menghindari perbuatan yang mengarah pada kekerasan terhadap siswa. Dengan demikian, tindak kekerasan di sekolah dapat diminimalisir bahkan dieliminir.

A. Pendahuluan Fenomena kekerasan terhadap anak masih menyisakan keprihatinan yang mendalam. Tindak kekerasan terhadap anak bisa terjadi di mana saja, baik di rumah, lingkungan sekitar rumah, maupun di sekolah. Kekerasan terhadap siswa umumnya dilakukan oleh guru maupun oleh sesama temannya. Kekerasan di sekolah terjadi karena akar masalah yang berbeda-beda, baik faktor struktural maupun kultural. Kekerasan di sekolah maupun pada institusi pendidikan lainnya, menunjukkan sisi buram pendidikan, di tengah tuntutan masyarakat akan layanan pendidikan yang berkualitas. Apapun penyebabnya, tetap saja kekerasan merupakan perbuatan yang tidak bisa ditolerir, karena mengganggu kenyamanan orang lain. Walaupun Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) dan bahkan memiliki Undang-undang Perlindungan Anak (UUPA No. 23 Tahun 2002), belum menjamin bahwa hak-hak anak sudah dilindungi dengan baik. Berbagai bentuk tindak kekerasan terhadap anak menggambarkan ketidakpedulian pelaku terhadap kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak di masa yang akan datang. Karena sekecil apapun tindak kekerasan yang pernah dialami, tentunya menyisakan trauma yang mendalam pada diri korban yang dikenai tindak kekerasan tersebut.

Kekerasan muncul oleh karena berbagai faktor yang kompleks. Antara lain ketidakmampuan seseorang dalam mengendalikan emosi, ketidaktahuan akan akibat kekerasan yang dilakukan, ketidakpahaman akan perundangan terkait yang berlaku, maupun faktor kultural, menyangkut mindset seseorang yang tertanam kuat tentang tindak kekerasan itu sendiri. Pemerintah melalui institusi yang terkait perlu mensosialisasikan UUPA di sekolah, khususnya untuk meningkatkan sensitivitas guru terhadap perilaku bertendensi kekerasan. Sekolah juga perlu mempromosikan hak-hak anak di sekolah dengan memberikan layanan yang terbaik bagi siswa di sekolah. Tentunya kepala sekolah, guru, dan karyawan di sekolah dapat secara bersama-sama bersinergi untuk tujuan tersebut. Jika warga sekolah memiliki persepsi negatif terhadap kekerasan, tentunya akan menghindari perbuatan yang mengarah pada kekerasan terhadap siswa. Dengan demikian, tindak kekerasan di sekolah dapat diminimalisir bahkan dieliminir. Anak memerlukan lingkungan yang nyaman untuk belajar, dengan begiku potensi anak dapat berkembang secara optimal. B. Tinjaun tentang Anak Anak adalah “setiap manusia” yang belum berumur 18 tahun. “Setiap manusia” bermakna bahwa tidak boleh ada pembeda-bedaan atas dasar apapun, termasuk atas dasar ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, keyakinan politik atau keyakinan lainnya, kebangsaan, asal-usul etnik atau sosial, kekayaan, cacat atau tidak, status kelahiran ataupun status lainnya, baik pada diri si anak maupun pada orangtuanya. Masa kanak-kanak merupakan salah satu fase perkembangan yang terjadi secara alamiah dan dilalui oleh setiap individu dalam siklus kehidupannya (stage along the life cycle). Masa kanak-kanak merupakan the golden period (masa emas), yang hanya terjadi sekali dalam kehidupan dan tidak mungkin terulang lagi. Oleh karena itu, layanan yang baik bagi anak perlu diperhatikan oleh orang dewasa di sekelilingnya karena tumbuh kembang yang baik pada masa kanakkanak dapat berpengaruh terhadap keberhasilan anak di masa yang akan datang. Menurut Erik Erikson (Tischler dalam Suyata, 2000) tingkat perkembangan individu dibagi menjadi beberapa masa yakni : a. Masa Bayi Ketergantungan adalah ciri pokok dari tahun pertama manusia. Bayi harus mempercayakan pada orang lain untuk merawat dan memberi kasih sayang. Jika orang-

orang di sekitarnya, orang tua, saudara kandung, keluarga kandung, dan keluarga memperlakukan dengan cinta dan kehangatan akan terbangun rasa kepercayaan. Sebaliknya, jika mereka tidak perduli dan tidak memberi kasih sayang akan menimbulkan rasa tida percaya dan rasa tidak aman yang dalam hubungan sosial di kemudian hari. b. Masa Kanak-kanak Dalam tahun kedua dan ketiga dari kehidupan, dunia anak berkembang dengan dramastis. Anak berkembang secara fisik, mereka berjalan, berbicara, dan memanfaatkan lingkungan. Hubungan sosial dapat menyebakan mereka mengembangkan perasaannya atau keraguan akan dirinya. Anak didorong untuk mengenal hal-hal baru tersebut tanpa kritik atau ejekan akan menumbuhkan keraguan dan rasa malu. c. Masa Bermain Pada umur empat atau lima tahun masih mencoba meningkatkan kemampuan dirinya. Lingkungan sosialnya berkembang lagi yakni adanya teman bermain bersama yang merupakan ikatan sosial yang penting baginya. Anak-anak akan tumbuh inisiatifnya jika teman-teman setuju dan mendukung dirinya, tetapi jika hubungan di antara mereka penuh tekanan, akan menimbulkan rasa bersalah. d. Masa Usia Sekolah Kenaikan jenjang resmi menambah pengetahuan baru. Guru menjadi penting dalam membentuk peran. Sekolah-sekolah yang memberikan semangat dan memberi penghargaan pada murid akan memberi pengaruh yang besar pada cita-cita murid . Perasaan rendah diri akan berkembang murid merasakan kegagalan-kegagalan yang tetap dalam bersaing dengan teman sekelas yang lebih pandai. e. Masa Remaja Tantangan remaja adalah mencari identitas diri. Menurut Mead dalam Tischler (Suyata, 2000), seorang pemuda mempunyai banyak identitas yang dihubungkan dengan arti lain yang menempati dunia sosial mereka. Masa remaja merupakan masa anomie, karena mereka mencoba untuk mengembangkan kesanggupan untuk melakukan sesuatu, tetapi di lain pihak ada keinginan orang tua untuk melakukan sesuatu pada mereka. Dalam masa

ini ada yang berhasil melaluinya, ada juga yang gagal, yang diwujudkan dalam bentuk pergolakan dengan obat bius minuman alkohol, pembunuhan, dan perbuatan lain. f. Masa Pra-Dewasa Pendidikan formal yang lengkap mendorong kebutuhan seseorang untuk mulai berkarier, membentuk persahabatan dan lembaga perhubungan yang abadi. Perasaan mesra mulai berkembang jika seseorang mulai mampu membangun secara emosional perbedaan jenis kelamin dan individu yang lain. g. Masa Dewasa Pada masa ini seseorang menghadapi krisis yang olenya digambarkan sebagai “kreativitas yang berhadapan dengan egois”. Perspektif individu difokuskan pada kepentingan pribadi atau perluas hubungan sosial. h. Masa Tua Pada masa ini seseorang mulai menyadari bahwa kematian tidak dapat dihindari oleh menusia. Orang tidak dapat mengelak tentang nilai kehidupan yang sudah dilalui sebelumnya. Rasa bangga akan dimiliki oleh mereka, jika mereka mereka senantiasa jujur. Sebaliknya, rasa frustasi akanmuncul jika mereka memfokuskan pda kegagalankegagalan yang pernah dialaminya. Dari uraian di atas tampak bahwa pada masing-masing masa, setiap individu mempunyai kebutuhan akan sosialisasi yang tidak selalu sama, melainkan tergantung pada setiap periode masa atau umurnya. Setiap orang pasti mengalami apa yang dinamakan pertumbuhan dan perkembangan (grow and develop). Namun dalam kenyataannya, khususnya yang terjadi di kalangan anak-anak, mereka seringkali mendapatkan perlakuan bukannya mendukung proses tumbuh kembangnya, melainkan

justru sebaliknya, yaitu

menghambat proses tumbuh kembangnya. Tumbuh kembang dan kecerdasan anak usia dini dipengaruhi oleh beberapa faktor (Fasli Jalal, 2010), yaitu: 1) Gizi dan Kesehatan, 2) Stimulasi Psikososial, 3) Pengasuhan, 4) Pendidikan, dan 5) Perlindungan. Lembaga PAUD sebagai tempat pengasuhan anak, tidak sekedar pada kegiatan makan, minum, ataupun menjaga anak, tetapi dapat dikembangkan

untuk mengoptimalkan otak. Tempat pengasuhan anak harus dipahami lebih luas lagi dari pengertian yang dikenal selama ini. Konsep pengasuhan anak dini usia, seharusnya memperhatikan proses stimulasi psikososial. Setiap anak mencapai puncak pengalaman akan menghasilkan aliran listrik di otak yang merangsang pertumbuhan synapse dan dendrit baru, dan pada akhirnya akan meningkatkan kualitas otak. C. Fenomena Kekerasan terhadap Anak Kebanyakan orang menganggap kekerasan hanya dalam konteks sempit, yang biasanya berkaitan dengan perang, pembunuhan, atau kekacauan, padahal kekerasan itu bentuknya bermacam-macam. Fenomena yang dapat dikategorikan dalam kekerasan yang seperti ini banyak sekali jumlahnya. Istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan perilaku, baik yang terbuka (overt) maupun tertutup (covert), dan baik yang

bersifat

menyerang (offensive) atau bertahan (deffensive), yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain (Thomas Santoso, 2002:11). Berbagai perbedaan kategori dan bentuk kekerasan tersebut memerlukan berbagai macam klasifikasi yang spesifik, bebas dari bias, dan jauh dari kelemahan-kelemahan. Pembedaan atas bentuk-bentuk kekerasan yang analitis, tidak parsial, dan teliti harus memenuhi dua kriteria utama, yaitu objektivitas (objectivity) dan kelengkapan yang mendalam (exhaustivity), karena selama ini kekerasan mendapatkan interpretasi yang berbeda-beda dari sejumlah pihak. Secara umu, terdapat empat jenis kekerasan pokok yang memenuhi dua kriteria tersebut (Jamil Salmi, 2005:32), yakni: kekerasan langsung (direct violence), kekerasan tidak langsung (indirect violence), kekerasan represif (repressive violence), dan kekerasan alienatif (alienating violence). Kekerasan langsung merujuk pada tindakan yang menyerang fisik atau psikologis seseorang secara langsung. Kekerasan tidak langsung adalah tindakan yang membahayakan manusia, bahkan kadang-kadang sampai ancaman kematian, tetapi tidak melibatkan hubungan langsung antara korban dan pihak lain (orang, masyarakat, institusi) yang bertanggung jawab atas tindak kekerasan tersebut. Kekerasan represif berkaitan dengan pencabutan hak-hak dasar selain hak untuk bertahan hidup dan hak untuk dilindungi dari kesakitan atau penderitaan. Kekerasan alienatif merujuk pada pencabutan hak-hak individu yang lebih tinggi, misalnya hak pertumbuhan kejiwaan (emosi), budaya atau intelektual (rights to emotional, cultural, or intellectual growth).

Menurut Hedy Sri Ahimsa Putra (Sumjati, 2001:38-39), secara sederhana tindak kekerasan diartikan sebagai setiap perilaku seseorang yang dapat menyebabkan perasaan atau tubuh (fisik) orang lain menjadi tidak nyaman. Perasaan tidak nyaman ini bisa berupa: kekhawatiran, ketakutan, kesedihan, ketersinggungan, kejengkelan, atau kemarahan, sedangkan keadaan fisik yang tidak nyaman bisa berupa: lecet, luka, memar, patah tulang, dan sebagainya. Kekerasan yang dialami oleh anak-anak dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yakni: (1) kekerasan fisik, (2) kekerasan mental, dan (3) kekerasan seksual. Sebagai gejala sosial budaya, tindak kekerasan terhadap anak tidak muncul begitu saja dalam situasi yang kosong atau netral. Ada kondisi-kondisi budaya tertentu dalam masyarakat, yakni berbagai pandangan, nilai dan norma sosial, yang memudahkan terjadinya atau mendorong dilakukannya tindak kekerasan tersebut Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa selain di rumah, tempat anak-anak banyak mengalami kekerasan adalah sekolah. Kekerasan di sekolah banyak berasal dari sesama teman. Namun jika menekankan pada hubungan antara anak dengan orang dewasa, maka pelaku kekerasan yang dominan adalah para guru, terlepas dari soal motivasi tindakan kekerasan mereka, apakah mengajar atau menghajar. Kekerasan dalam pendidikan merupakan perilaku melampaui batas kode etik dan aturan dalam pendidikan, baik dalam bentuk fisik maupun pelecehan atas hak seseorang. Pelakunya bisa siapa saja, seperti: pimpinan sekolah, guru, staf, murid, orang tua atau wali murid, bahkan masyarakat. Jika perilaku kekerasan sampai melampaui batas otoritas lembaga, kode etik guru dan peraturan sekolah, maka kekerasan tersebut dapat mengarah pada pelanggaran atas Hak Asasi Manusia (HAM), dan bahkan tindak pidana. Selama ini, pendidikan nilai di lingkungan sekolah, sekedar penyampaian pengetahuan (cognitive domain). Lebih lanjut menurut Heddy Shri Ahimsa-Putra (2001), beberapa pandangan yang terkait dengan cultural setting (latar budaya) yang tampaknya mendukung terjadinya sosialisasi kekerasan di sekolah antara lain adalah: a. Sekolah adalah tempat pendidikan; Anak harus taat pada aturan sekolah Berbagai bentuk tindak kekerasan di sekolah didasarkan pada pandangan-pandangan ini, yang erat kaitannya dengan diadakannya lembaga sekolah itu sendiri. Sekolah adalah institusi pendidikan, tempat orang mendidik atau membuat seorang individu menjadi

individu sebagaimana yang diinginkan dan dibutuhkan oleh masyarakat. Dalam konteks ini, berbagai tindak kekerasan yang diterapkan terhadap anak-anak lantas dianggap sebagai hal yang wajar dan dapat diterima, bilamana hal itu dipandang akan membat mereka menadi individu seperti yang diinginkan. Pandangan di atas dapat dengan mudah digunakan sebagai alat pembenar tindakan guru terhadap murid yang seringkali bersifat abusive. b. Guru adalah pendidik Secara implisit, pandangan ini menyiratkan bahwa dalam berhubungan dengan gura, murid berada pada posisi yang lebih rendah. Murid adalah individu yang harus dididik oleh guru. Dididik di sini memiliki pengertian yang sangat luas, karena bisa bersifat fisik dan rohani. Dengan posisi yang lebih tinggi dan memiliki legitimasi untuk mendidik, yaitu melakukan tindakan yang dipandang akan dapat membuat murid menjadi individu seperti yang diingnkan, guru mempunyai peluang besar melakukan tindak kekerasan terhadap murid. Sedangkan hasil penelitian Farida Hanum (UNY, 2006:56) mengenai ”Fenomena Tindak Kekerasan yang dialami Anak di Rumah dan di Sekolah” menunjukkan bahwa anakanak pada umur di bawah 12 tahun sangat rawan akan tindak kekerasan dari orang tua maupun gurunya. Banyak orang tua yang belum menyadari bahwa tindakan yang mereka lakukan tersebut, sebenarnya merupakan kekerasan terhadap anak. Umumnya, anak-anak yang menjadi korban kekerasan memiliki harapan pada orang tua mereka agar mau menyayangi dan memperlakukan mereka dengan kasih sayang dan kelembutan. Sedangkan kekerasan yang dilakukan guru di sekolah berdampak pada hilangnya motivasi belajar dan kesulitan dalam memahami pelajaran, sehingga umumnya prestasi belajar mereka juga rendah. Kekerasan guru terhadap siswa juga menyebabkan siswa benci dan takut pada guru. Macam-macam kekerasan dan pelanggaran di sekolah berdasarkan pelakunya (http://pedulihakanak.wordpress.com/2009/03/09/kebijakan-perlindungan-anak-di-sekolah/): a. Pembulian (Bullying). Bullying adalah suatu tindakan berupa kata-kata maupun perbuatan fisik dari seseorang (anak) atau kelompok orang (anak) yang mempunyai power (kekuasaan/kekuatan) lebih, kepada seseorang (anak) atau kelompok orang (anak)

yang kurang mempunyai power, sehingga menimbulkan rasa takut yang berlebihan, rasa sakit baik sakit hati maupun fisik, rasa dikucilkan, disisihkan, dan kondisi lain yang negatif. Perbuatan bullying di sekolah sangat berpengaruh terhadap performance murid Perbuatan bullying antara lain: mengolok-olok, memusuhi, menggencet, memalak, memukul, dll. b. Hukuman (punishment). Hukuman biasanya dilakukan oleh orang yang mempunyai kuasa kepada orang atau anak (murid, wali murid) dikarenakan tidak memenuhi apa yang dikehendaki/disyaratkan/diatur oleh orang yang lebih berkuasa. Hukuman ada dua macam yaitu hukuman yang berupa emosional dan hukuman fisik/badan. Hukuman emosional termasuk: dipisahkan/dikucilkan dari kelompoknya, mendapatkan julukan negatif dan menyakitkan, dan tidak diperkenankan mengikuti kegiatan. Sedangkan hukuman fisik/badan biasanya dalam bentuk dijewer, dipukul, berdiri di depan kelas dalam waktu yang cukup lama. c. Pelecehan seksual. Pelecehan seksual di sekolah bisa terjadi dalam bentuk fisik maupun non-fisik. Di lingkungan sekolah sangat potensial terjadi julukan/pelabelan negatif terhadap bentuk tubuh seseorang, ejekan, tempat duduk murid (perempuan) di mana meja depannya tidak bertutup sering mengundang perbuatan negatif. Sedangkan yang berupa fisik antara lain: jamahan terhadap bagian tubuh tertentu, imbalan pemberian nilai pada murid perempuan manakala rela berbuat sesuatu, pemerkosaan. d. Geng. Disadari atau tidak bahwa pergaulan antar anak atau sejumlah anak ada yang berdampak positif, namun banyak juga dari pergaulan dan keintiman sejumlah anak mereka merupakan embrio terbentuknya kelompok anak yang disebut geng. Banyak ditemukan geng di dalam lingkungan sekolah mulai dari SD, SMP maupun SMA yang banyak melakukan hal-hal yang dikategorikan kekerasan dan/atau pelanggaran kepada anak lain. Geng ini biasanya melakukan sesuatu secara teroganisir dan pergerakan mereka biasanya berkelompok. Geng ini merupakan bentuk kelompok tidak formal dari murid di luar struktur sekolah (biasanya terdiri murid senior) yang biasanya melakukan hal-hal di luar kurikulum dan tugas sekolah, bahkan biasanya melakukan kegiatan yang merugikan pihak-pihak yang lemah.

Analisa issue kekerasan di sekolah yang telah dilakukan oleh PLAN Indonesia terkait dengan upaya meningkatkan kualitas sekolah melalui promosi kepada Dinas Pendidikan maupun sekolah antara lain (http://pedulihakanak.wordpress.com/ 2009/03/09/kebijakanperlindungan-anak-di-sekolah/) : a. Kurang pahamnya warga sekolah untuk menempatkan issue Hak Anak dan Perlindungan di dalam wilayah pendidikan. Kekurangpahaman ini telah mengakibatkan bahwa kejadian dan perbuatan bullying tersebut dianggap sebagai hal yang biasa di kalangan murid. b. Selama ini sangat minim legislasi baik dari pihak sekolah maupun Dinas teknis yang mengatur peniadaan bullying atau segala bentuk kekerasan di sekolah c. Rasa senioritas di antara murid. Kondisi ini telah mewarnai sampai ke alih generasi secara turun temurun dan biasanya adik kelas akan menjadi obyek kekerasan. d. Masih adanya paradigma yang menganggap bahwa proses pembelajaran harus disertai dengan pendisiplinan yang ketat. Pendisiplinan sering diterjemahkan oleh kalangan pendidik dengan kekerasan. Lingkungan sekolah yang sarat dengan kekerasan, baik pada level sekolah maupun dalam interaksi pembelajaran di kelas berpengaruh terhadap kondisi sosial dan psikologis siswa Lingkungan yang demikian kurang mendukung tumbuh kembang yang sehat bagi siswa. Sebaliknua, lingkungan yang kondusif, aman, nyaman, dan saling menghargai antar warganya, dapat berpengaruh positif terhadap optimalisasi tumbuh kembang siswa dalam berbagai aspek, yang menentukan bagi masa depannya kelak.

D. Hak-hak Anak Indonesia telah meratifikasi CRC (Convention on the Right of the Child) atau dikenal sebagai Konvensi Hak-hak Anak (Bunyan, 2002). Adapun prinsip umum Konvensi Hak Anak adalah sebagai berikut: 1. Best interest of the Child Keputusan apapun yang diambil oleh pemerintah dan orang tua termasuk guru dalam pelaksanaan hak anak, hendaknya mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi anak tersebut.

2. Views of the Child Prinsip ini merupakan konsekuensi dari prinsip mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak, karena untuk mengetahui hal tersebut, perlu mendengarkan pandangan anak. 3. Rights to Survival and Development Prinsip rights to survival ini merupakan aspek dinamis dari hak anak yang terkait dengan hak ekonomi dan sosial anak, termasuk hak pangan dan kesehatan. Sedangkan prinsip rights to development merupakan dimensi kualitatif yang tidak hanya meliputi perkembangan fisik, namun juga perkembangan mental, emosional, kognitif, sosial, dan budaya. 4. Non Discrimination Setiap anak mempunyai kesamaan untuk mendapatkan haknya, anpa membedakan seks (jenis kelamin) keturunan, dan kelompoknya. Konvensi Hak Anak (KHA) juga memberikan perlindungan anak dari kekerasan dan eksploitasi yang meliputi perlindungan dari kekerasan fisik dan mental, penyalahgunaan obat terlarang, pelacuran, pornografi, serta penculikan dan perdagangan anak (trafficking). Memahami tingkat perkembangan anak merupakan hal yang penting, karena dengan demikian dapat dilakukan proses penanganan yang sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan anak. Seperti diungkapkan oleh Comenius (Hidayati, 1998) bahwa anak bukanlah manusia dewasa yang mini. Kepadanya, perlu dipelajari dan dipahami sosok alaminya sehingga dapat dirumuskan dengan tepat, bagaimana cara berinteraksi dan memposisikan mereka. Sesungguhnya, meskipun masih dalam proses perkembangan, mereka adalah manusia yang memiliki potensi luar biasa. Konvensi Hak Anak (KHA) sebagai salah satu instrumen internasional di bidang hak asasi manusia yang secara khusus mengatur segala sesuatu tentang hak anak, disetujui PBB pada 20 November 1989 dan mulai berlaku 2 September 1990, perupa 31 Hak Anak dalam Konvensi Hak Anak (Sumber: KPAI/Komisi Perlindungan Anak Indonesia).

Selain hak, sesungguhnya anak-anak juga memiliki sejumlah kewajiban (MG. Endang Sumiarni, 2009), antara lain: 1. Menghormati orang tua, wali, dan guru 2. Mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman 3. Mencintai tanah air, bangsa, dan negara 4. Menunaikan ibadah sesuai agamanya 5. Melaksanakan etika dan akhliak mulia Orang dewasa perlu memahami tentang hak anak, namun anak-anak juga perlu dipahamkan tentang kewajiban mereka sebagai anggota masyarakat. Selama ini aspek hak dan kewajiban anak masih diposisikan dan dipahami secara parsial dan belum seimbang.

E. Mencegah Kekerasan dengan Mempromosikan Hak Anak di Sekolah Ketika berbicara mengenai anak, harus mengawali dengan satu tujuan: memikirkan, membawa, dan menjadikan anak berkualitas. Dan hal itu tidak bisa dibebankan pada satu pihak saja, karena ini kewajiban banyak pihak. Yakni orang tua, guru, sekolah, masyarakat, bahkan termasuk media massa (IL. Gamayanti dalam KR 6 Juni 2010). Banyak sektor yang harus memiliki kepekaan terhadap anak. Apapun bentuk dan modelnya, masyarakat dan media terutama televisi memiliki peran yang cukup besar. Kedua sektor ini ikut dan membawa anak-anak, selain sistem pendidikan, guru, dan juga orang tua. Lebih lanjut menurut Gamayanti, anak seringkali menjadi korban pada keadaan yang tidak normal. Sistem pendidikan yang kurang tepat akan mengorbankan masa depan anak. Pendidikan anak hendaknya tidak sampai mengorbankan kecerdasan intelektual, emosional, bahkan spiritual anak. Nilai-nilai kemanusiaan seperti keadilan, demokrasi, kebebasan, solidaritas sosial, persamaan hak dan hukum, dan lain-lain, tidak cukup berhenti pada dataran akademisintelektual, melainkan harus diteruskan ke dalam sikap dan perilaku (affective and psychomotoric domain). Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara internalisasi nilai dan penyadaran melalui humanisasi pendidikan yang dilakukan sejak dini (Assegaf, 2003:37).

F. Penutup Kekerasan terhadap anak merupakan fenomena gunung es, karena peristiwanya banyak terjadi dan dapat terjadi dalam pendidikan di sekolah. Diperlukan langkah-langkah alternatif yang perlu melibatkan berbagai pihak untuk ditawarkan dalam menjawab permasalahan kekerasan di sekolah.Kekerasan di sekolah dan institusi pendidikan

lain

menunjukkan sisi buram pendidikan. Kekerasan merupakan perbuatan yang tidak bisa ditolerir, karena selain mencabik-cabik toleransi dalam sistem sosial, juga mengganggu kenyamanan orang lain. Walaupun Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) dan bahkan memiliki Undang-undang Perlindungan Anak (UUPA), belum menjamin bahwa hak-hak anak sudah dipenuhi dengan baik. Pemerintah perlu mensosialisasikan UUPA di sekolah untuk meningkatkan sensitivitas guru terhadap perilaku bertendensi kekerasan. Sekolah juga perlu mempromosikan hak-hak anak di sekolah dengan memberikan layanan yang terbaik bagi siswa di sekolah. Kepala sekolah, guru, dan karyawan di sekolah dapat secara bersamasama bersinergi untuk tujuan tersebut. Jika warga sekolah memiliki persepsi negatif terhadap kekerasan, tentunya akan menghindari perbuatan yang mengarah pada kekerasan terhadap siswa. Dengan demikian, tindak kekerasan di sekolah dapat diminimalisir bahkan dieliminir.

DAFTAR PUSTAKA Ariefa Efianingrum, dkk. 2010. Diseminasi Model Pelatihan Respect untuk Mencegah Kekerasan bagi Guru Sekolah Dasar Daerah Konflik. Lemlit UNY: Laporan Penelitian. ------------------------------------- 2009. Pengembangan Model Pelatihan Respect bagi Guru untuk Mencegah Kekerasan di Sekolah Dasar. Lemlit UNY: Laporan Penelitian. Assegaf, Abd. Rahman. 2002. Kondisi dan Pemicu Kekerasan dalam Pendidikan. Laporan Penelitian: UIN. --------------------------------. 2003. Pendidikan Tanpa Kekerasan, Tipologi, Kasus, dan Konsep. Yogyakarta : Tiara Wacana. Burhan Bungin. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer. Jakarta: Rajawali Press. Camara, Dom Helder. 2000. Spiral Kekerasan. Yogyakarta: Insist Press.

Farida Hanum. 2006. Fenomena Tindak Kekerasan yang dialami Anak di Rumah dan di Sekolah. Laporan Penelitian FIP UNY. Francis, Diana. 2006. Teori Dasar Transformasi Konflik Sosial: Analisis Konflik Sosial, Dialog, Negosiasi, & Pencegahan Kekerasan, Membangun Gerakan Perdamaian, Resolusi dan Transformasi Konflik, Peranan Kebudayaan dalam Transformasi Konflik, serta Merencanakan Pelatihan dan Workshop. Yogyakarta: Quils. Heddy Shri Ahimsa-Putra. 2001. Latar Budaya Tindak Kekerasan terhadap Anak-anak di Indonesia. Laporan Penelitian:UGM. Helmi, Syafrizal. 2003. Mendesain Sebuah Pelatihan. Jurnal Ilmiah Manajemen dan Bisnis. Vol. 03 No. 02 Okober 2003. Jamil Salmi. 2005. Violence and Democratic Society: Hooliganisme dan Masyarakat Demokrasi. Yogyakarta: Pilar Media. Lickona, Thomas. 1991. Educating for Character: How Our Schools can Teach Respect and Responsibility. New York: Bantam Books. Mami Hajaroh. 2008. Respect: Pendidikan untuk Mencegah Kekerasan di Scotlandia. Majalah Ilmiah Fondasia: FIP UNY. MG. Endang Sumiarni. 2009. Kekerasan di sekolah dan Hak Anak dalam Perpektif Hukum. Makalah Seminar dalam rangka Penelitian Strategis Nasional yang diselenggarakan oleh Jurusan Filsafat dan Sosiologi Pendidikan, 2 Agustus 2009. Sumjati As (ed). 2001. Manusia dan Dinamika Budaya, dari Kekerasan sampai Baratayuda. Yogyakarta : BIGRAF Publishing. Thiagarajan, Sivasailam et. all. 1974. Instructional Development for Training Teachers of Exeptional Children. Thomas Santoso. 2002. Teori-teori Kekerasan. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Pengarusutamaan Hak Anak di Sekolah untuk Mencegah Kekerasan. oleh: Ariefa Efianingrum. Abstrak - PDF Free Download (2025)
Top Articles
Latest Posts
Recommended Articles
Article information

Author: Madonna Wisozk

Last Updated:

Views: 6052

Rating: 4.8 / 5 (68 voted)

Reviews: 83% of readers found this page helpful

Author information

Name: Madonna Wisozk

Birthday: 2001-02-23

Address: 656 Gerhold Summit, Sidneyberg, FL 78179-2512

Phone: +6742282696652

Job: Customer Banking Liaison

Hobby: Flower arranging, Yo-yoing, Tai chi, Rowing, Macrame, Urban exploration, Knife making

Introduction: My name is Madonna Wisozk, I am a attractive, healthy, thoughtful, faithful, open, vivacious, zany person who loves writing and wants to share my knowledge and understanding with you.